Minggu, 03 Agustus 2008

Mengapa Umat Islam Mudah Terpecah Belah?

DR. Bambang Cipto, MA

Indonesia dikenal sebagai salah satu laborato-
ium raksasa bagi siapa pun untuk mempelajari
perilaku dan kecenderungan sosial-politik-budaya umat Islam. Di negeri dengan ratusan juta umat Islam di dalamnya ini orang mudah mengetahui kapan umat akan terlihat tenang, berbahagia, dan puas dengan segala sesuatu yang mereka lihat dan rasakan. Namun di negeri ini pula, orang akan dengan cepat mengetahui bagaimana umat dalam waktu singkat berubah menjadi marah bahkan beringas menyaksikan hal yang mereka benci.
Isu-isu seperti Ahmadiyah dengan mudah membuat sebagian umat terbakar hatinya dan mereka bertindak anarkis. Hal ini, adalah bukti yang sulit disangkal bahwa perpecahan mudah menimpa umat Islam di Indonesia dan di mana pun di seluruh permukaan bumi. Ada beberapa alasan yang dapat diajukan untuk menjelaskan kemudahan umat Islam terpecah belah saat menghadapi isu tertentu.
Pertama, tingkat pendidikan. Sebagian besar umat Islam tergolong ke dalam kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah. Namun, mayoritas umat Islam memang masuk ke dalam golongan penduduk dengan tingkat pendidikan rendah.
Walaupun sekolah-sekolah swasta bermunculan bagai cendawan di musim hujan, namun sekolah-sekolah tersebut pada umumnya mahal dan sulit dijangkau oleh umat. Bahkan, sekolah Muhammadiyah di Indonesia kini semakin mahal dirasakan oleh penduduknya. Tiga puluh tahun yang lalu siapa pun dapat masuk ke sekolah Muhammadiyah. Dewasa ini hanya orang yang serba berkecukupan dapat mengirimkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah. Walaupun tidak sedikit sekolah Muhammadiyah yang memang sangat murah, namun kualitasnya menjadi pertanyaan banyak orang.
Kedua, mayoritas tingkat perekonomian keluarga Islam tergolong ke dalam kelompok tidak mampu. Jika, kita berkeliling Indonesia maka akan semakin banyak terlihat betapa kemampuan ekonomi umat Islam memang rendah. Dibandingkan dengan umat yang lain umat Islam tergolong rendah.
Pada saat pembagian BLT orang dengan mudah menebak siapa penerima terbanyak dari BLT, pasti umat Islam. Umat Islam mendominasi sektor pekerjaan tingkat bawah atau tingkat pekerja kasar. Di mana pun di Indonesia kita akan dengan mudah mengidentifikasi, bahwa umat Islam selalu berada pada posisi tersebut. Bagaimana Islam dapat menentukan negeri ini jika sebagian besar umat berada pada posisi “ditentukan”.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pejabat negeri dan pengusaha kelas atas di Indonesia didominasi kaum muslimin. Namun, posisi mereka tidak menjamin bahwa kesejahteraan umat Islam akan naik dengan sendirinya.
Ketiga, sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi umat Islam muncul kelemahan lain yang tidak terelakkan. Persepsi umat Islam tentang masa depan sangat beragam dan tidak jarang sangat antagonistik satu sama lain. Kalangan terpelajar yang merupakan lapisan tipis dan elitis dari umat memandang masa depan dengan penuh semangat. Mereka percaya pada kemampuan sendiri, dan bekerja keras untuk menghadapi ketidakpastian masa depan dengan mencari solusi-solusi yang tepat guna. Kelompok ini, cenderung rasional dan cepat mengikuti perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Mereka dengan mudah mengikuti arus globalisasi tanpa keraguan.
Sebaliknya, kalangan umat yang tingkat pendidikan dan kemakmuran ekonominya rendah mengalami kesulitan untuk menatap kedepan. Mereka sangat tergantung pada arah dan kebijakan pemimpin informal ditingkat lokal dengan lingkup kepemimpinan yang terbatas. Persepsi mereka tentang masa depan sebagian besar ditentukan oleh para ustadz atau pemimpin lokal yang mendominasi proses pembentukan persepsi. Kalangan ini seakan tidak memiliki alternatif pemikiran lain dan hanya mengikuti arus yang sengaja diciptakan oleh pemimpin lokal masing-masing.
Di tengah era globalisasi oientasi pemikiran ini sangat menguntungkan pemimpin lokal. Namun, sangat merugikan umat Islam yang dengan penuh kepatuhan mengikuti apa pun kata-kata mereka. Gerak hati dan pernyataan ulama mereka yakini sebagai kebenaran mutlak yang haram untuk ditentang. Mereka akan ikuti apa pun kata-kata ulama yang menjadi pelindung keimanan mereka. Bagi mereka patuh dan taat pada ulama adalah jalan lurus menuju sorga. Padahal, jumlah dan ragam para ulama lokal ini sangat beragam dengan jumlah dan ragam kepentingan yang beragam pula. Mayoritas golongan ini hanya mengenal orang-orang terdekat. Oleh karena itu, mereka benar-benar patuh pada apa kata ulama mereka. Bagi mereka orang atau ulama lain di luar komunitas mereka adalah tidak benar dan tidak pantas untuk diikuti.
Tanpa mereka sadari mereka menutup diri dari berbagai kemungkinan dimasa depan. Padahal, Qur’an membuka peluang untuk mempelajari isi dunia dan alam semesta. Namun doktrin ulama lokal membuat komunitasIslam malas membuka lembaran al-Qur’an yang penuh hikmah. Persepsi mereka tentang dunia terbatas pada kemampuan ulama lokal dalam menterjemahkan makna terdalam dari Qur’an. Bagi mereka mendengar khutbah para ulama sudah cukup, dan tidak perlu melihat langsung pada Qur’an yang jelas membuka pintu lebar-lebar bagi kemajuan manusia dan umat Islam ditengah gelombang globalisasi yang sedemikian hebat. Namun, rendahnya kualitas budaya membaca membuat mayoritas umat hidup dalam budaya mendengar yang sudah tentu mengurangi kemampuan menguasa ilmu, tehnologi, dan perubahan zaman yang sangat cepat.
Keempat, ketergantungan pada ulama lokal ini membuat irama hidup mayoritas umat sangat dipengaruhi oleh irama hidup para ulama lokal tersebut. Akibatnya, sangat luar biasa bagi orientasi perilaku umat. Mereka cenderung sangat peka terhadap isu-isu yang berkembang di luar komunitas mereka masing-masing. Untuk menghindari kesalahan, apalagi dosa besar mereka menunggu sikap ulama sebagai sumber nasehat dalam bersikap dan bertindak. Ulama lokal sering menjadikan ketergantungan umat ini untuk keuntungan mereka. Mereka dengan mudah mengeksploitasi apa pun yang terjadi untuk memperkuat posisi mereka di hadapan komunitas lain atau dihadapan pemerintah. Ini disebabkan budaya mendengar kuat dibanding budaya membaca.
Para ulama lokal tidak ragu untuk berseberangan dengan siapa pun selama sikap itu memberi insentif keuntungan bagi masa depan dirinya selaku pemimpin umat. Bahkan, seandainya ia harus melakukan perlawanan terhadap komunitas lain, maka demi popularitas dan kebanggaan dirinya ia akan melakukan semua usaha untuk menundukkan komunitas lain yang dianggap sebagai musuh.
Persoalan dasar mereka adalah para ulama lokal cenderung menutup ruang dialog bagi anggota komunitas masing-masing. Dialog adalah jalan menuju keterbukaan yang dirasakan sebagai ancaman bagi kelangsungan kepemimpinan dirinya. Dialog dengan demikian merupakan pilihan yang harus dihindari agar kekuasaan dan pengaruh tetap berada ditangannya. Pola pikir ini mungkin merupakan salah tafsir atau ada unsur kesengajaan dari mereka sendiri.
Kondisi ini sangat berbeda dengan para ulama Islam dimasa lalu. Para pendahulu kita senantiasa terlibat dalam proses dialog ilmiah. Mereka bertentangan satu sama lain melalui karya-karya ilmiah, sehingga perbedaan pendapat berlangsung dalam suasana akademis. Akibat dari persaingan ilmiah ini umat Islam dimasa lalu banyak menghasilkan karya-karya ilmiah yang sangat dirasakan manfaatnya baik pada waktu itu atau bahkan hingga era globalisasi saat ini.
Dewasa ini temuan-temuan ilmiah dari kalangan umat Islam amat sangat terbatas. Prestasi umat lebih banyak terlihat pada upaya pencapaian popularitas jangka pendek dan bersifat personal. Semakin populer, seorang ulama semakin banyak pengikutnya. Padahal, model kepemimpinan semacam ini hanya bersifat sementara. Mereka tidak menyadari bahwa kebanggaan mereka hanya muncul dari komunitas mereka yang terbatas. Sementara, masyarakat luas memiliki ragam kebutuhan yang sangat berbeda dan berubah setiap saat. Pada saat seorang ulama merasa sukses ditingkat komunitasnya tidak ada jaminan bahwa masyarakat luas juga melakuka apresiasi yang sama. Kondisi ini membuat para ulama lokal sering gagal mengikuti perkembangan lebih cepat di luar komunitas masing-masing. Berbagai peristiwa akhir-akhir ini menunjukkan ketidakmampuan para ulama lokal dalam mengikuti perkembangan perubahan di masyarakat. Sehingga, keputusan-keputusan ulama lokal, walaupun didukung penuh oleh pengikutnya yang selalu taat dan patuh, menjadi hal yang membingungkan bagi komunitas lain maupun masyarakat yang lebih luas. Kesan yang muncul adalah, bahwa umat Islam sangat mudah diadu domba setiap saat. Orang atau kelompok yang tidak menyukai umat Islam sangat rajin menciptakan isu untuk mengombang-ambingkan pemikiran umat. Ketika umat berada dalam kondisi kebingungan maka mereka dengan cepat mengadu domba umat yang sangat mudah disulit emosinya.
Orientasi dan sikap mayoritas umat Islam ini terjadi, dan masih akan berulang kembali jika tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi tidak beranjak naik.
Pemerataan pendidikan tinggi bagi umat Islam adalah tantangan yang sangat mendesak. Tanpa bekal pendidikan tinggi yang cukup, umat Islam akan selalu peka terhadap berbagai persoalan yang sengaja maupun tidak akan mengakibatkan perpecahan umat. Melalui pendidikan tinggi generasi muda akan lebih banyak melihat alternatif pemikiran. Tingkat pendidikan tinggi hanya dapat dicapai bila kesejahteraan umat memang cukup atau lebih dari cukup. Untuk menuju tingkatan ini umat Islam dituntut untuk lebih banyak mencetak milioner-milioner yang berwawasan Islam. Keterlibatan umat ke dalam politik yang terlalu berlebihan akan membuat mereka kelompok yang mudah diatur oleh modal besar. Karena, politisi di mana pun harus tunduk pada kemauan sektor swasta.
Sebaliknya, semakin banyak wiraswastawan dari kalangan Islam akan membantu mempercepat tercapainya lapisan umat yang berpendidikan tinggi. Usaha bisnis adalah usaha yang penuh dengan spekulasi dan perhitungan cermat. Ini membutuhkan kapasitas kepemimpinan yang sangat kuat. Jika sebagian besar kalangan mudah hanya bermimpi mendapatkan gaji besar dengan usaha terbatas, maka kalangan lain yang akan menguasai dunia bisnis. Semakin jauh umat dari sektor ekonomi semakin lemah posisi tawarnya dalam mengatur kehidupan umat. Sudah cukup banyak politisi Islam di pemerintahan, namun terlalu sedikit pengusaha dari pihak muslimin. Padahal, kegiatan sehari-hari di lapangan sangat ditentukan oleh sektor swasta. Untuk mengurangi penyakit mudah dipecah belah lebih banyak umat yang harus mendapatkan pendidikan tinggi. Untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang berkualitas diperlukan kekuatan ekonomi yang kuat. Itulah sebabnya keberanian untuk berbisnis menjadi penentu utama masa depan umat.l
Penulis Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


"Tjetjep"


Sumber : http://suara-muhammadiyah.com/?p=478

Tidak ada komentar: